.: nostalgia senja :.

Menghangatkan sore dengan sepiring kue pancong. Bersama bapak tersayang, menikmati hangatnya setiap gigitan. Maklumlah kue pancongnya baru saja di angkat dari pembakarannya. Tapi justru di situlah kenikmatannya, karena rasa  dan aroma kelapanya yang kuat akan lebih berasa saat masih hangat. Dan kehangatan inilah yang kemudian membawaku kembali ke masa kanak-kanak dulu yang di sana ada Bapak, kakak, aku, adik dan si jeruk. adalah Si jeruk motor honda bapak yang menjadi saksi sejarah keberlangsungan hidup Bapak dan keluarga sederhananya. Di masa kanak-kanak, tepatnya saat berseragam hijau-kuning, disitulah awal perkenalanku dengan si kue pancong atau yang lebih familiar kami sebut buroncong. Boruncong adalah menu wajib untu isian kotak makanan kami. Di perjalanan menuju sekolah, ayah selalu menghentikan si jeruk di samping sebuah gerobak buroncong seorang kakek paruh baya. Terkadang kami protes juga, soalnya teman-teman sekolah isi kotak makannya selalu berganti-ganti, sementara kami setiap hari, dari senin sampai senin berikutnya  isinya tetap sama. Buroncong. Tapi, bukan si bapak namanya kalau tak bisa meredam protes kecil kami. Bersama si jeruk dan oh iya satu lagi, si baju bosi-bosi, sweater andalan bapak bermotif garis-garis berwarna abu-abu dan merah dan keperakan untuk garis yang lebih kecil lagi , yang selalu membuat gaya atau pun cerita lucu yang membuat tawa kami kembali pecah dan akhirnya melupakan  tentang isi kotak makan.

Buroncong adalah kue tradisional yang terbuat dari bahan-bahan sederhana yang sangat mudah ditemukan di semua dapur, yaitu tepung terigu, parutan kelapa muda yang sebelumnya telah dibuang terlebih dahulu kulit kasarnya, gula pasir, dan sedikit garam sebagai perasa, oh iya biasa juga ada yang menambahkan backing powder. Nah, setelah  semua bahan lengkap, kemudian di satukan dalam satu wadah.Tuangkan air sedikit demi sedikit sampai adonan menjadi agak encer. Aduk sampai rata.
Setelah itu, tuang adonan ke dalam cetakan khusus buroncong berbentuk semi lonjong yang telah dipanaskan  terlebih dahulu di atas bara api/arang dan diolesi dengan margarin (namun, masih ada juga yang mengolesi cetakan dengan minyak kelapa dan memanfaatkan tulang pelepah daun pisangnya sebagai kuas). Tutup cetakan.
Setelah adonan berwarna agak kecoklatan, pertanda buroncong sudah matang. Nah siap untuk diangkat, biasanya menggunakan gancu.

Langit senja makin memerah, dan tak terasa buroncong di tangan sudah habis, di tangan Bapak pun  sudah berganti dan … hohoho senyum Bapak makin menghangatkan sore. Guratan-guratan  hidup di wajahnya sangat nyata. Uban di kepalanya pun saling berlomba. Usianya semakin senja, pun baju Bosi-bosi teman cerita kanak-kanak kami yang telah usang termakan usia. Si jeruk pun demikian, tak mampu melawan korosi yang menggerogoti. Itulah ketetapan hidup yang sifatnya fana, tak abadi. Namun, meski demikian kisah kanak-kanak kami bersama Bapak, si jeruk dan baju bosi-bosi selalu hangat dalam kenangan, sehangat buroncong sore ini. Kue sederhana yang selalu menghadirkan kehangatan dan kebahagiaan di hati kami yang akhirnya membuatku mengerti tentang satu hal bahwa “Bahagia itu Sederhana”.

Belajar menghargai setiap hal-hal kecil…belajar menghargai hal-hal sederhana, biar tau betapa bersahajanya KESEDERHANAAN…^ ^

*. Beranda, 30 April 2012. Menikmati kehangatan senja terakhir April.