aku memilih Bapakku

Tak ada pancong pukis pun jadi. Hmmm … aroma khas yang menguar saat melintas dekat pembakaran sukses bikin perut berbahasa kriuk-kriuk minta segera diisi. Hehehee …

Dulu alm. Bapak juga suka skali, menghangatkan pagi dengan kue pukis dan teh hangat. Tapi lebih dari itu, entah bapak suka atau tak pada semua makanan yang kami, anak-anaknya santap, sisanya selalu dihabiskannya. Itulah salah satu alasan mengapa Si Bapak memilih makan paling akhir, agar bisa menghabiskan makanan yang tersisa dari piring-piring kami. Bapak sangat tak suka membuang-buang makanan dan demikianlah Beliau mengajarkan pada kami dengan caranya.

Mengajarkan baca Qur’an dengan tangannya sendiri, menghibur kami dengan cerita-cerita lucu karangannya sendiri dan lagu-lagu favoritnya meskipun kata Nenek suaranya fals dan tak ngerti nada. Tapi bukan Bapak kami namanya kalau goyah, sebaliknya “lanjut terus”. Bapak kami yang tabah dan kuat meski beberapa orang tak menganggapnya tapi dibalas senyum olehnya. Kepergiannya menyisakan banyak cerita dan kenangan, cinta yang banyak dari keluarga, sahabat dan rekan-rekannya dan yang terpenting [penyesalan] dari mereka yang sebelumnya tak menganggapnya.

Rest in peace dear Bapak. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosamu, melapangkan alam kuburmu, dan dijauhkan dari siksa kubur dan azab neraka. Aamin.


Mengapa aku memilih Bapakku untuk menjadi papaku ??? … kurasa semua  tahu jawabannya.